Sabtu, 18 Juni 2011

Ketika mutu pendidikan "bermashab nilai diatas kertas"

Mutu pendidikan

Anda bisa bayangkan apa jadinya Negri ini jika kualitas dan kemampuan siswa diukur dengan nilai akhir,dipastikan akan banyak melahirkan siswa,mahasiswa, dan bahkan dosen-dosen instant (premature) yang tak ingin melakukan proses penempaan sesuai disiplin ilmunya.


Sudah tidak dapat dipungkiri ada berapa ribu siswa cerdas dalam 1 disiplin ilmu, tapi dikarenakan matematika atau bahasa inggrisnya yg rendah membuat ia tak layak lulus dan lebih parah lagi jika lulus tak bisa ikut bersaing di universitas ternama dgn syarat matematika atau bhs inggrisnya yang rendah
Kita dapat belajar dari finlandia,china,jepang yang membebaskan siswanya untuk memilih disiplin ilmu apa yang akan diujikan pada ujian kelulusan sesuai dengan kemampuannya,hal ini melahirkan pendidik yg kompeten dan berkarakter kuat.
Realita pendidikan di Indonesia saat ini menunjukkan adanya proses pembaharuan sistem secara berkelanjutan. Mulai dari standardisasi nilai Ujian Akhir Nasional hingga kebijakan penerapan otonomi kampus di Perguruan Tinggi dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Semua sistem yang hari ini berusaha diterapkan pada dunia pendidikan di Indonesia menimbulkan berbagai fenomena unik, mulai dari penolakan keras hingga kritik terhadap sistem tersebut
sistem pendidikan Indonesia tidak membuat siswa kreatif karena hanya terfokus pada proses logika, kata-kata, matematika, dan urutan dominan. Akibatnya perkembangan otak siswa tidak maksimal dan miskin ide baru.

Mungkin ada benarnya jika dikaitkan dengan proses pendidikan hari ini. Value Oriented yang dimaknai nilai ujian sebagai hasil akhir, bukan dari proses yang dilakukan, terkadang menjerumuskan paradigma pendidikan. Sehingga tak aneh ketika seorang sarjana dengan IPK Cum Laude  tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatkan di bangku perkuliahan. Orientasi pada nilai cenderung mengesampingkan proses kreatifitas yang justru dibutuhkan ketika “terjun” di masyarakat.
Dalam pandangan kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan “ideologi dominan” yang tengah berlaku di masyarakat, menantang sistem yang tidak adil serta memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Konsep yang coba untuk dituangkan oleh Paulo Freire, seorang pemikir berkebangsaan Brazil adalah “proses pendidikan Sosial”. Dalam hal ini, sistem pendidikan menempatkan pelajar sebagai subjek bukan objek. Sedangkan realita sosial yang terjadi di sekitar dijadikan sebagai materi pembelajaran. Proses ini mengantarkan terwujudnya dialektika dan kesadaran kritis dari tiap individu.
Terkait dengan sistem pendidikan di Indonesia yang masih berorientasi pada nilai akhir, maka konsep “pendidikan kritis” oleh Paulo Freire ini dapat merubah paradigma pendidikan tersebut. Perubahan paradigma pendidikan yang berorientasi pada nilai agaknya perlu diikuti dengan perubahan sistem yang lebih “humanis” dan berkeadilan karena mengingat kembali bahwa tujuan yang diemban negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang berlandaskan pancasila. Pada akhirnya, pendidikan tak hanya dimaknai sekedar ajang mencari nilai bagus dan ijazah sebagai bentuk legitimasi. Namun lebih dari itu, pendidikan adalah suatu proses untuk memanusiakan manusia dan membentuk manusia yang beradab dan berkontribusi bagi peradaban bangsa.
…………………………………………………………………
Catatan albert Einstein dalam diarinya
” Kebanyakan orang mengatakan bahwa kecerdasanlah yang melahirkan seorang ilmuwan besar. Mereka salah, karakterlah yang melahirkannya.
Tanda kecerdasan sejati bukanlah pengetahuan tapi imajinasi.
Imajinasi lebih berharga daripada ilmu pengetahuanLogika akan membawa Anda dari A ke B. Imajinasi akan membawa Anda kemana-mana.
Tidak ada eksperimen yang bisa membuktikn aku benar, namun sebaliknya sebuah eksperimen saja bisa membuktikan aku salah.
Orang-orang seperti kita, yang percaya pada fisika, mengetahui bahwa perbedaan antaramasa lalu, masa kini, dan masa depan hanyalah sebuah ilusi yang terus menerus ada.
Dunia ini adalah sebuah tempat yang berbahaya untuk didiami, bukan karena orang-orangnya jahat, tapi karena orang-orangnya tak perduli.”

Posted :

Lukmanul hakim
Mahasiswa Fisip
Semester VI Universitas sawerigading Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar anda